Kamis, 11 Juni 2009

Nothing

Ini adalah sebuah usaha untuk berwacana. Tentang kejadian simultan sejak dua minggu sampai hari senin yang lalu. Sebagian terencana sebagian datang tiba-tiba. Nampak acak namun menyambung sepertinya.

Berawal dari obrolan dengan sang bunda. Dia sebagai narasumber utama. Dan ayahanda sebagai moderator belaka (kakaraeun aing ngomong ayahanda jeung bunda).

“Aku ingin pacaran”...sebuah pernyataan. Memecah hening malam yang hampir pertengahan.

“Kau mau mempermainkan wanita?”tinggi nadanya nampak terpancing emosinya.

Santai bunda kenapa kamu???(bingung, jadi terdiam dan hanya mampu mendengarkan)

“Wanita itu tentang makanan apa yang mampu kau hidangkan. Wanita itu tentang perlindungan macam apa yang kau berikan. Wanita itu tentang cinta macam apa yang bisa kau curahkan. Wanita itu tentang penghargaan yang mampu kau sematkan. Wanita itu tentang kebahagiaan yang mampu kau persembahkan. Punya apa kamu nak?”

Arhggg...kecewa. Harus mengakui, aku merasa tak punya apa-apa. Dan aku merasa bukan apa-apa.

Ibu macam apa yang mendiskreditkan anaknya seperti ini. Aku hanya menyatakan keinginan sambil bertanya juga meminta ijin sebenarnya. Padahal, tidak pernah sebelumnya, meminta ijin untuk yang satu ini. Kenapa harus jadi seperti ini???

Tapi, setelah dipikir-pikir ibu macam mana lagi yang mau merima anak macam aku ini??? anak yang sekarang ini dibuatnya hanya bisa diam dan mendengarkan ceramahnya sampai selesai. Selesai dengan segumpal sesal.

Kejadian kedua, hari jumat, bersama Amanda Ratna Rahmadiana, membaca Ali Imron dalam buku petunjuk kehidupan. Tentang perang. Tentang kematian. Tentang ketakutan. Tentang kepengecutan. Tentang penghianatan. Tentang karunia Tuhan. Tentang kesedihan. Dan mungkin ini tentang aku yang masih dengan segumpal sesal. Tentang pacaran yang menjadi misi pacaranku (hanya menyambung-nyambungkan sebenarnya). Yang kuingat jelas, Tuhan berkata padaku jangan takut dan jangan bersedih hati. Tapi aku tetap merasa bukan apa-apa. Tapi sekarang, mungkin aku mulai tak takut untuk merasa menjadi bukan apa-apa.

Arhggg...setelah itu tiba-tiba ingin bernyanyi. Kubuka kitab nyanyian, terbuka pada halaman yang memuat lagu “nak” yang dipopulerkan Iwan Fals. Sebelumnya belum pernah aku bernyanyi lagu ini.

Ayo sama-sama bernyanyi :

"Duduk sini nak dekat pada bapak.
Jangan kau ganggu ibumu.
Turunlah lekas dari pangkuannya.
Engkau lelaki kelak sendiri......."

Kerenkan lagunya? Dan kalian tahu apa? aku semakin merasa bukan apa-apa yang tak punya apa-apa.

Kejadian ketiga, mendengarkan anggota dewan berbicara tentang kematian (arhggg...tema ini lagi???tidak!!!). Katanya, mati itu ujian untuk sebuah kepercayaan. Mati itu pintu menuju keabadian. Mati itu keniscayaan tanpa keraguan. Mati itu dihilangkannya kenikmatan dalam kefanaan. Mati itu nasehat untuk orang-orang beriman. Dan mati itu adalah putusnya sebuah hubungan.
Sekarang, aku tak takut akan kematian, tak terlalu takut mungkin, tapi masih ada kekhawatiran. Sekarang, mulai sedikit berani untuk berperang. Perangku adalah perang yang itu. Tapi tetap merasa bukan apa-apa. Sanggupkah aku berperang tanpa apa-apa?

Sekarang, ada yang lebih kutakutkan. Aku takut mati sebelum sang ajal benar-benar datang. Aku takut menjadi mayat hidup. Aku takut menjadi manusia yang takut untuk berjuang. Aku takut menjadi pengecut yang berkata aku tak bisa. Aku takut menjadi pecundang yang berkata aku tak tahu caranya. Aku takut menjadi penghianat karena mundur setelah tahu perang sudah di depan mata.

Arhgg...akhirnya harus menerima. Bahwa aku bukan apa-apa yang tak punya apa-apa. Dan aku harus menerima bahwa perasaan itu adalah sebuah karunia. Perasaan tentang wanita itu juga karunia. Tahukah kalian apa itu karunia? Menurutku, karunia seperti bumi beserta isinya. Dia harus dirawat, dibangun, diperjuangkan, dan dinikmati pastinya. Seperti para petani yang dikaruniakan saprotan. Aku akan menanam, menyemai, memanen, membagi dan menikmatinya bersama orang-orang. Aku akan mendapatkan apa yang kuperjuangkan. Menjadi khalifah atas segala karunia?Semoga.....

Dan aku berkata. Berbisik sebenarnya.

I am nothing. But, nothing is everything. If you are nothing, you can receive everything.
(Wimar Witoelar dalam sebuah artikel surat kabar di hari senin).

Jadi, aku tetaplah bukan apa-apa yang tak punya apa-apa (dengan senyum tenang). Tetap bukan apa-apa yang tak punya apa-apa setelah dua minggu yang aneh.

I am nothing. If I am nothing, I can receive everything.
I am nothing. So, I never lose anything...

2 komentar:

  1. gratzzz ..... banyak pembelajaran yang bisa kita kalu ambil jika kita kosongkan hati dan pikiran :P

    BalasHapus
  2. nothing emang everything, tapi kang yogi saya lebih sepakat bahwa yang dikosongkan itu wadahnya, bukan hati, ataw pikirannya

    BalasHapus