Senin, 17 Januari 2011

Wanita Itu

Tengah malam, kau mulai berbicara tentang dirimu dan orang-orang itu. Cerita tentang bagian kecil hidupmu. Dari lebarnya senyummu, tak terbayang akan seperti ini kisahmu. Saat kau menguntai kata, matamu mulai berkaca-kaca. Dengan hati rusuh, aku coba mencerna kata demi kata.


Dari ceritamu aku membuat kesimpulan. Bagimu, rumah adalah neraka dingin yang penuh kebisuan. Bangunan tanpa pesona keceriaan. Dindingnya dibangun dari penatnya kehidupan yang melelahkan. Tempat kekecewaan yang bersenda gurau dengan penderitaan. Dia menjadi penjara dibalik nama. Nama yang dikenal sebagai keluarga.


Bagimu, rumah sepertinya berisi orang-orang tiri yang jahat. Bukankah mereka sebenarnya orang biasa? Bukankah mereka baik hatinya? Dan, bukankah mereka sedarah denganmu, nona? Aku heran, sepertinya, kau membuat mereka seperti orang-orang tiri bahkan lebih tiri dari orang-orang tiri.


“Apa yang bisa diharapkan dari rumah seperti ini?” kau bertanya padaku. Aku diam, cerita kau lanjutkan. “Rumah membuat otakku menjadi beku karena yang kupikirkan tidak dapat dijalankan. Rumah membuat hatiku membatu karena kegagalan melulu yang kurasakan.”

Kau bilang berbagai cara telah kau usahakan untuk perubahan tapi orang-orang itu tak pernah memberi tanggapan. Sekarang kau hanya bisa diam.


Lalu, kau lari dari semua kemuraman yang kau rasakan. Kau cari kehangatan, warna, dan keceriaan diluaran. Bersama orang-orang yang menderita kepiluan yang sama, menikmati tekanan yang sama, kalian menyulap kesedihan menjadi beragam suasana yang diinginkan, menjadikannya tempat pelarian yang memberikan banyak kebahagiaan dan senyum keceriaan. Disana,senda gurau muncul tanpa henti seolah dimensi tak bisa membatasi.


Aku tahu kau butuh mereka, yang bersamanya, seperti bersama keluarga. Bukan keluarga yang sekarang dirasakan tapi keluarga yang yang benar-benar kau inginkan. Kalian bergembira dalam kekeluargaan tanpa rumah dan tak perlu sedarah.


Kau dapatkan itu. Dunia yang ada kerinduan didalamnya, yang bisa melindungi kau dari cengkraman rumah yang tak ramah. Disana, kau jadi mengerti apa arti berbagi, kekurangan tak ada lagi karena sudah mengerti bagaimana saling mengisi.


Sudahlah lumrah jika kau lari. Jiwa memang mencari apa yang membuat diri ini dihargai. Aku tahu, diluaran itu jiwamu hidup. Di sana perutmu kenyang, rasa takutmu hilang. Di tempat itu, cinta datang untukmu, orang-orang menghormatimu. Di sana tubuh dan isi kepalamu tertantang.


Kuingatkan nona, larimu tak bisa selamanya. Dunia itu perlahan akan sirna. Jalan kalian tak selalu sama. Canda dan tawa yang ada kian lama kian reda. Keluarga tak sedarah tak lama lagi akan terpisah.


Kau bilang keajaiban pasti akan datang. Dia datang tanpa diundang. Dunia itu tak akan hilang.


Dalam diamku aku bertanya, “kapan kau bawa suasana dunia itu ke dalam rumahmu?”. Kau diam saja, kurasa kau tak mampu lakukan itu.

Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Aku menjadi tambah resah karena kau berhenti bercerita.


Tiba-tiba kau berteriak mengagetkanku. “Begitulah rumah itu, selamanya begitu, selamanya dingin dan kelu. Tak akan menjadi rumah yang ku rindu. Aku bukan seperti Putri Tidur itu, Cinderella itu, atau Putri Salju itu. Walaupun kami sama menunggu tapi berbeda apa yang aku tunggu.”


“Aku bukan peri kecilmu, tak ada mantra ditanganku. Aku takkan bisa, dengan sedikit kata, membuat rumahmu menjadi surga. Tapi aku yakin, disana senyum dan kehangatan itu pernah ada”. Jawabku seketika.


“Aku bukan pengeranmu karena tak jelas wujudku. Aku hanya spektrum-spektrum warna yang terkumpul dalam bola matamu. Lalu apa dayaku? Tak bisa ku gantikan peran orang –orang itu. Tak bisa aku jadi keluarga tak sedarahmu. Kenapa kau mengadu padaku? ” lanjutku.


Ingin sekali aku menolongmu tapi apa dayaku? Haruskah aku menjadi ada? Haruskah aku berwujud dalam fana? Atau haruskah kubawa kau ke lain dunia?


Sekarang hanya satu harapanku. Rumah itu menjadi sejuk bagimu. Kau wanita hebat, pasti ada sesuatu yang bisa kau perbuat untuk membuat rumahmu bagai sarang lebah dengan madu mengkilat.